Senin, 08 November 2010

Teori Belajar Edward Lee Thorndike

Thorndike mengemukakan teorinya yang disebut sebagai Koneksionisme (connectionism) karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut Trial and error dalam rangka menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa. Menurut teori ini, belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan antara stimulus dan respons, yaitu sesuatu (B) menjadi tanda bagi hal yang lain, yang biasanya menimbulkan reaksi tertentu (A). Lama kelamaan B akan menimbulkan reaksi yang mula-mula hanya diberikan kepada A, meskipun A sudah tidak ada. Misalnya seorang anak belajar untuk tidak menyentuh pisau dapur, bukan karena anak itu terluka oleh pisau itu, melainkan setiap kali anak memegang pisau itu tangannya kena pukulan atau paling sedikit ibunya berkata keras “jangan”. Pukulan pada tangan atau perintah dengan suara keras, dengan sendirinya membuat anak terkejut dan takut (A). Lama kelamaan terbentuk hubungan antara memegang pisau (B) dan tindakan ibu anak itu, sehingga memegang pisau menjadi semacam tanda bagi anak, segera akan menyusul hukuman. Akhirnya anak tidak akan berani memegang pisau, meskipun ibunya tidak berada di dekat anak tersebut; anak telah merasa takut menyentuh pisau dapur. Kemungkinan besar, setelah anak itu menjadi besar masih merasa takut untuk memegang pisau yang tajam. Dalam belajar semacam itu, sudah harus ada kaitan antara suatu peransang (pukulan, suara keras) dan reaksi spontan (perasaan terkejut dan takut), sebagai syarat dasar pada diri anak sendiri. Kaitan dasar itu oleh Gagne’ dipandang sebagai “kondisi internal”. Disamping itu, hubungan antara perangsang kedua (pisau yang menarik untuk dipegang) dan peransang pertama (pukulan, suara keras), harus terdapat pada saat yang sama dan diulang kembali beberapa kali. Kedua hal itu oleh Gagne’ dipandang sebagai “kondisi eksternal”; karena terdapat diluar anak itu sendiri. Dalam contoh di atas, kedua kondisi eksternal itu adalah kebersamaan dalam waktu (kontiguitas waktu) dan pengulangan kembali (repetisi).      
Landasan teori Thorndike mula-mula diletakkan pada eksperimen-eksperimen yang dilakukannya terhadap binatang. Penelitiannya dirancang untuk menentukan apakah binatang itu “memecahkan” masalah dengan berfikir ataukah melalui suatu proses yang lebih mendasar sifatnya. Menurut Thorndike, diperlukan penelitian karena tidak cukup tersedia data yang obyektif. “Beratus kali anjing-anjing itu salah jalan dan tidak ada seorangpun tahu atau mengirimkan berita kejadiannya ke majalah ilmiah. Tetapi andaikan ada seekor saja yang tahu jalan dari Brooklyn ke Yonkers maka kenyataan itu segera menjadi berita menarik yang beredar di luar” (Thorndike, 1911, hlm. 24).
Thorndike bereksperimen dengan menggunakan anak ayam, anjing, ikan, kucing, dan kera. Prosedur eksperimennya yang umum ialah membuat agar setiap binatang lepas dari kurungannya sampai ketempat makanan. Digunakan satu kotak teka-teki berpalang sandungan atau mekanisme lain yang membuat binatang percobaan lepas.
Apabila terkurung, binatang itu sering melakukan bermacam-macam kelakuan, seperti menggaruk-garuk, menggigit, mencakar, dan menggosok-gosokkan badannya ke sisi-sisi kotak. Cepat atau lambat binatang itu akan tersandung palang dan lepaslah ia ke tempat makanan. Kalau pengurungan itu berkali-kali maka tingkah-laku yang tidak ada hubungannya dengan lepas dari kurungan berkurang dan, tentu saja waktu yang digunakan untuk lepas menjadi lebih pendek. Perubahan yang paling dramatis terjadi pada tera-kera. Dalam satu eksperimen, sebuah kotak bersisi pisang diletakkan di dalam kurungan. Diperlukan waktu 36 menit bagi kera itu untuk mencabut paku penjepit kawat. Pada percobaannya yang kedua kali, diperlukan waktu hanya 2 menit 30 detik saja (Thorndike, 1911).
Dari penelitiannya Thorndike menyimpulkan bahwa respons lepas dari kurungan itu lambat laun diasosiasikan dengan situasi stimulus dalam belajar coba-coba, trial and error.
Terjadinya asosiasi tersebut menurut Trondike berdasarkan hukum-hukum sebagai berikut:

  1. Hukum Kesiapan (Law of readiness)
Hukum ini menjelaskan kesiapan individu untuk melakukan sesuatu. Hukum kesiapan melukiskan syarat-syarat yang menentukan keadaan yang disebut “memuaskan” atau “menjengkelkan” itu (Thorndike, 1913a). Secara singkat pelaksanaan tindakan sebagai respons terhadap suatu impuls yang kuat menimbulkan kepuasan, sedangkan menghalang-halangi pelaksanaan tindakan atau memaksakannya terjadi dalam syarat-syarat lain yang akan menjengkelkan. Ciri-ciri berlakunya hukum kesiapan adalah sebagai berikut:
1). Misalkan seseorang memiliki kecenderungan bertindak. Jika orang tersebut bertindak, maka akan menimbulkan kepuasan, dan ia tidak akan dilakukan tindakan lain.
2). Misalkan seseorang memiliki kecenderungan bertindak. Jika orang tersebut tidak bertindak, maka akan muncul rasa ketidakpuasan, dan ia akan melakukan tindakan-tindakan lain untuk menghapus rasa tidak puasnya.
3). Misalkan seseorang tidak mempunyai kecenderungan bertindak. Tetapi orang tersebut bertindak, maka akan muncul rasa ketidakpuasan, dan ia akan melakukan tindakan-tindakan lain untuk menghapus rasa tidak puasnya.
Menurut hukum ini, keberhasilan individu dalam melaksanakan sesuatu sangat tergantung pada kesiapannya. Belajar akan berhasil jika siswa telah siap untuk belajar.
  1. Hukum Latihan (Law of exercises)
Hukum latihan menjelaskan keadaan seperti dikatakan pepatah “Latihan menjadikan sempurna”. Dengan kata lain pengalaman yang diulang-ulang memperbesar peluang timbulnya respons benar. Akan tetapi pengulangan-pengulangan yang tidak disertai keadaan memuaskan tidak meningkatkan belajar (Thorndike, 1913b, hlm. 20).
Hukum ini menunjukkan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Bila S diberikan akan terjadi R . Lebih sering asosiasi S dan R digunakan akan membuat hubungan yang terjadi semakin kuat. Sebaliknya makin jarang asosiasi S dan R digunakan, akan membuat buhungan tersebut makin lemah. Thorndike juga mengemukakan bahwa latihan yang berupa pengulangan tanpa ganjaran tidak efektif. Asosiasi antara S dan R akan menjadi kuat jika diberikan ganjaran.
  1. Hukum Pengaruh (Low of effect)
Hukum pengaruh menyebutkan bahwa keadaan memuaskan menyusul respons memperkuat pautan antara stimulus dan tingkah-laku, sedangkan keadaan menjengkelkan memperlemah pautan itu.
Menurut hukum ini, dalam suatu lingkungan, jika suatu tindakan (perilaku) menghasilkan perubahan yang memuaskan, maka terdapat kemungkinan tindakan tersebut akan diulangi lagi dalam situasi serupa dan akan semakin meningkat intensitasnya. Tetapi jika tindakan (perilaku) tersebut menghasilkan perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan tersebut kemungkinan tidak diulangi lagi.
Ganjaran dan hukuman berkaitan dengan hukum pengaruh ini. Ganjaran merupakan sesuatu yang diperoleh siswa atas keberhasilan atau usaha yang dilakukaknnya. Misalnya, nilai baik (tinggi) yang diperoleh pada hasil tesnya. Sedangkan hukuman berkaitan dengan sesuatu yang diperoleh siswa akibat dari kegagalan atau pelanggaran yang dilakukan. Misalnya, nilai jelek atau teguran kepada siswa atas hasil tesnya. Menurut Thorndike, hukuman tidak selalu melemahkan hubungan S – R, dan juga tidak mempunyai akibat yang berlawanan dengan ganjaran. Menurut Hudoyo (1988), jika S dan R terjadi serontak, maka hubungan ini disebut sebagai “kontingusi”. Ganjaran menjadi penguat, jika rasa puas mengiringi respon siswa. Disamping itu juga ada kecenderungan meningkatkan R dan hal ini dapat memudahkan dan memperlancar cara belajar serta mengubah tingkah laku. Misalnya ucapan seperti: “bagus”, “benar”, dan sebagainya merupakan penguatan. Respons- respons yang diperkuar akan berorientasi dengan stimulus secara kuat, sedangkan respons-respons yang tidak diperkuat akan berkuarang asosiasinya dengan stimulus berikutnya.
            Thorndike meneliti hubungan antara stimulus fisik dan tindakan fisik, dan penafsirannya atas belajar didasarkan pada penyelidikan tingkal laku ini. Akan tetapi teorinya juga mencakup peristiwa-peristiwa mental. Dengan demikian teori tersebut letaknya ada di tengah antara apa yang menjadi perhatian fungsionalisme dan behaviorisme “murni”.
            Thorndike menggambarkan kehidupan mental manusia sebagai sesuatu yang tersusun atas dunia mental dan gerakan yang antara keduanya ada pautan (Thorndike, 1905, hlm. 12). Menurut pandangannya, pautan gagasan-gagasan merupakan asal dari bagian terbesar “pengetahuan” dalam arti yang khusus (Thorndike, 1913b, hlm. 19). Termasuk dalam hal ini soal-soal hitung bilangan dan jawabannya, seperti 9 x 5 =  45; peristiwa dan kapan terjadinya, seperti Colombus dan 1492 ; serta orang dan cirinya, misalnya Darto dan mata coklat.
            Bagi para pendidik, hal khusus yang menarik ialah deskripsi Thorndike mengenai lima hukumnya yang merupakan tambahan berkenaan dengan belajar di sekolah. Hukum-hukum tersebut merupakan usaha pertama untuk menerangkan bagaimana kompleksnya belajar yang terjadi pada manusia. Dipercayai bahwa hukum-hukum ini ada kaitannya dengan hukum pengaruh dan hokum latihan yang menjelaskan belajar pada manusia. Hukum-hukum tambahan ini dan denerapannya dirangkum dalam tabel berikut:
No
Hukum
Deskripsi
Contoh
1.
Respons ganda atau reaksi beragam
Berbagai respons mula-mula sering terjadi pada stimulus-stimulus
Lafal bahasa asing, keterampilan main tennis, keterampilan dalam karangan
2.
Sikap, disposisi, atau peri keadaan
Keadaan siswa yang mempengaruhi belajar; termasuk sikap yang mantap dan faktor-faktor situasi yang sementara sifatnya
Seseorang berlomba lempar bola paling jauh atau merobohkan pemain dalam permainan bisbol. Mengajarkann soal hitung menambah atau mengurangi dari 7 dan 6
3.
Aktifitas persial atau sepotong-sepotong dalam suatu situasi
Kecendrungan untuk merespons terhadap unsure atau hal-hal tertentu dari suatu situasi stimulus (juga disebut belajar analitik)
Respons terhadap kualitas bentuk, warna, jumlah, kegunaan, maksud dan sebagainya. Respons terhadap hubungan-hubungan ruang, waktu, sebaba dann sebagainya
4.
Asimilasi respons dengan analogi
Kecenderungan situasi B untuk sebagaian menimbulkan respons sama seperti situasi A
Orang asing melalfalkan kata-kata bahasa Indonesia
5.
Pergantian asosiatif
Secara berurutan mengganti stimulus sampai responsnya terikat oleh stimulus yang baru
Abcd diganti menjadi abce menjadi abcfg dan seterusnya
Hasil penelitian Thorndike yang penting bagi pendidikan adalah mengenai pengaruh jenis kegiatan belajar tertentu pada belajar berikutnya. Pertama, serangkaian studi yang dilakukan oleh Thorndike dan Woodworth (1901) menemukan bahwa berlatih dalam tugas tertentu memudahkan belajar diwaktu kemudian hanya untuk tugas yang serupa tidak untuk tugas yang tidak serupa. Hubungan ini dikenal dengan alih latihan, transfer of  training. Kedua, Thorndike (1924) menyelidiki konsep “disiplin mental” yang popular yang mula-mula diuraikan oleh Plato. Menurut penganjur pfaham disiplin mental, mempelajari kurikulum tertentu, terutama matematika dan bahasa-bahasa klasik, dapat meningkatkan fungsi intelek. Artinya, mata pelajaran-mata epelajaran sekolah semacam itu dipercayai dapat melatih fikiran. Thorndike (1924) menguji konsep ini dengan cara membandingkan hasil belajar siswa-siswa sekolah menengah setelah mengikuti pelajaran dalam kurikulum klasik dan kurikulum vokasional dan menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti. Dalam tahun-tahun berikutnya, penelitian Thorndike ini disebut sebagai pembawa pengaruh yang penting dalam mengalihkan pandangan para perancang kurikulum dari konsep disiplin mental dan mengarahkan peleksanaan penyusunan kurikulum ke tujuan kegunaan masyarakat (Cushman dan Fox, 1983; Gates, 1938). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar