Rabu, 24 November 2010

Hari Guru

Guru. Tidak banyak menuntut. Sabar dan tekun memberi ilmu. Sebuah kebanggaan luar biasa untuk bisa hidup melihat anak muridnya berhasil. Tanggal 25 November sebagai bentuk penghargaan terhadap pengabdian mereka diperingati sebagai Hari Guru Nasional.

Sadar atau tidak. Sosok pahlawan tanpa tanda jasa ini paling sering dilupakan oleh mereka yang pernah dibekali ilmu. Kita lebih ingat memberikan hadiah kepada atasan atau rekanan yang terkadang hanya karena tuntutan jabatan dan pekerjaan. Sudah saatnya kita merenung sejenak untuk memikirkan nasib para guru. Mereka telah memberikan bekal tidak ternilai manfaatnya. Saatnya kita tergerak membantu para guru mencerdaskan kehidupan bangsa ini agar menjadi bangsa yang hebat!

Terima kasih guru. Terima kasih.
»»  read more

Selasa, 09 November 2010

Teori Belajar Robert M. Gagne


Robert M. Gagne, seorang professor dan ahli psikologi  yang telah banyak membuat penyelidikan mengenai fase dalam rangkaian pembelajaran dan jenis pembelajaran.
Teori belajar yang dikemukakan Robert M. Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara behaviorisme dan kognitivisme, yang berpangkal pada teori pemrosesan informasi. Gagne menggunakan matematika sebagai medium untuk menguji dan mengembangkan teori belajarnya. Menurutnya, kunci bagi pengembangan teori belajar yang bersifat menyeluruh adalah mengenai faktor-faktor yang memperjelas sifat yang rumit dari proses belajar seseorang. Ahli-ahli teori yang lain biasanya mulai dengan memberikan penjelasan khusus mengenai proses belajar dan kemudian berusaha mengenakan proses tersebut pada belajar yang dilakukan orang. Kebalikannya, Gagne mulai dengan melakukan kupasan atas berbagai performasi dan keterampilan yang dilakukan orang dan kemudian memberikan penjelasan atas adanya keragaman ini.
Menurut gagne (1975), belajar merupakan sesuatu yang terjadi dalam benak seseorang, di dalam otaknya. Belajar disebut suatu proses karena secara formal ia dapat dibandingkan dengan proses-proses organik manusia lainnya, seperti pencernaan dan pernapasan. Namun belajar merupakan proses yang rumit dan kompleks. Belajar terjadi ketika seseorang merespon dan menerima rangsangan dari lingkungan eksternalnya. Belajar merupakan proses yang memungkinkan manusia memodifikasi tingkah lakunya secara permanen, sedemikian hingga modifikasi yang sama tidak akan terjadi lagi pada situasi baru. Pengamat akan mengetahui tentang terjadinya proses belajar pada orang yang diamati bila pengamat itu memperhatikan terjadinya perubahan tingkah laku. Kematangan menurut Gagne, bukanlah belajar, sebab perubahan tingkah laku yang terjadi, dihasilkan dari pertumbuhan struktur dan diri manusia itu. Dengan demikian belajar terjadi bila individu merespon terhadap stimulus yang datangnya dari luar, sedangkan kematangan datangnya memang dari dalam diri orang itu. Perubahan tingkah laku yang tetap sebagai hasil belajar harus terjadi bila orang tersebut berinteraksi dengan lingkungan.
Komponen- komponen dalam proses belajar menurut Gagne dapat digambarkan sebagai S     R. S adalah situasi yang memberi stimulus, R adalah respons atas stimulus itu, dan garis di antaranya adalah hubungan di antara stimulus dan respon yang terjadi dalam diri seseorang yang tidak dapat kita amati, yang bertalian dengan sistem alat saraf di mana terjadi transformasi perangsang yang diterima melalui alat dria. Stimulus ini merupakan input yang berada di luar individu dan respon adalah outputnya, yang juga berada di luar individu sebagai hasil belajar yang dapat diamati.
1.      Fase-fase Belajar
Robert M. Gagne (dalam Margaret) menerapkan konsep pengolahan (proses) kognitif dalam kupasannya terhadap hal belajar. Ia menemukan delapan tahapan pengolahan yang esensial bagi belajar dan harus dilaksanakan secara berurutan. Kedelapan tahapan itu disebut fase belajar.
 a.      Fase mengarahkan perhatian (attending phase)
Pada fase ini akan menjadikan siswa peka/sadar akan adanya stimulus yang muncul dari situasi belajar. Siswa dapat melihat stimulus-stimulus tersebut dan sifat-sifatnya.  Apa yang dilihat siswa, akan diberi kode secara unik oleh setiap siswa dan akan dicatat dalam pikirannya. Hal ini biasa terjadi dalam proses belajar mengajar. Bila guru memberikan pelajaran (stimulus), mungkin guru melihat isi pelajaran berbeda dengan yang dilihat siswa, dan setiap siswa mungkin saja berbeda persepsinya satu dengan yang lainnya.

b.      Fase pengharapan (expectancy phase)
Pada fase ini membawa siswa tahu tujuan belajar. Misalnya siswa menetapkan bahwa ia akan memperoleh suatu keterampilan motorik, defenisi baru, atau belajar memecahkan suatu masalah. Orientasi tujuan yang sudah terbentuk pada tahap ini membuat siswa bisa memilih hasil apa yang sesuai pada tiap fase berikutnya dalam pengolahan informasi.
 c.      Fase perolehan (Acquisition phase)
Ini merupakan fase mendapatkan fakta, keterampilan, konsep atau prinsip yang dipelajari. Pemilikan pengetahuan dapat ditentukan dengan mengamati atau mengukur apa yang telah dimilikinya itu. Hal ini perlu dilakukan di dalam proses belajar mengajar agar supaya guru dapat mengetahui apa yang telah dimiliki dan apa yang belum dimiliki.
d.      Fase retensi (Retention phase)
Dalam fase ini kemampuan baru yang telah diperoleh dipertahankan atau diingat. Sarana menyimpan bagi manusia adalah ingatan (memory). Penelitian mengindikasikan bahwa terdapat dua tipe memori, yaitu memori jangka pendek (short term memory) dan memori jangka panjang (long term memory). Memori jangka pendek mempunyai kapasitas terbatas dan hanya bertahan dalam waktu singkat. Banyak orang dapat menahan (menyimpan) tujuh atau delapan informasi berbeda dalam memori selama tiga puluh detik. Memori jangka panjang adalah kemampuan kita mengingat informasi selama lebih dari tiga puluh detik, dan ini disimpan dalam pikiran secara permanen.
Gagne mendeskripsikan beberapa ciri yang mungkin dimiliki fase ini, sebagai berikut.
1)      Apa yang telah dipelajari mungkin tersimpan di dalam suatu bentuk yang permanen, tetap intens selama bertahun-tahun, seperti tersimpan dalam suatu pita megnetik ajaib.
2)      Beberapa hal yang dipelajari mungkin memudar sedikit demi sedikit sejalan dengan berlalunya waktu.
3)      Gudang ingatan mungkin mengalami pencampuradukan dalam arti ingatan yang baru mengaburkan ( atau mungkin menghapus) yang terlebih dulu karena mereka bercampur baur.
 e.      Fase memanggil kembali (Retrieval phase)
Yaitu kemampuan memanggil ke luar (call out) informasi yang telah dimiliki dan disimpan dalam memori. Proses memanggil kembali informasi ini adalah sangat tidak teliti (imprecise), tidak teratur (disorganized), dan malahan penuh rahasia (mystical). Kadang-kadang informasi yang diinginkan, misalnya “nama”, tidak dapat dipanggil keluar dari memori atas permintaan seseorang, tetapi kemudian mungkin saja ke luar pada saat orang itu memikirkan sesuatu yang tidak ada kaitan dengan “nama” tadi. Ada informasi yang tersimpan dalam pikiran (memori) begitu dalamnya, sehingga diperlukan teknik khusus, misalnya dengan rangsangan elektrik untuk mengeluarkannya.
 f.      Fase generalisasi (Generalization phase)
Tujuan belajar bukanlah sekedar untuk menambah pengetahuan atau mengubah kelakuan, akan tetapi agar apa yang dipelajari itu dapat digunakan dalam berbagai situasi lain, sehingga mantap dan dapat terus digunakan. Menggunakan apa yang dipelajari dalam situasi-situasi yang baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya disebut transfer. Menurut Gagne, konteks yang bervariasi untuk belajar merupakan suatu hal yang esensial yang dapat menjamin terjadinya transfer dalam proses belajar.
Transfer dapat bersifat horizontal, yakni apa yang dipelajari itu dapat digunakan untuk situasi-situasi lain yang bersamaan dan setaraf tingkatnya. Misalnya prinsip-prinsip yang dipelajari dalam matematika dapat digunakan dalam ilmu bumi, fisika, atau kimia. Di samping itu ada lagi transfer vertikal. Apa yang  dipelajari dapat digunakan untuk mencapai prinsip yang lebih tinggi. Hierarki dalam tipe belajar menunjukkan perlunya dikuasai tipe belajar yang lebih rendah agar dapat dipelajari tipe belajar yang lebih tinggi. Tipe belajar yang lebih rendah menjadi prasyarat untuk tipe belajar pada tingkat yang lebih tinggi.
g.      Fase penampilan (Performance phase)
Dalam fase ini, siswa menampilkan tindakan/tingkah laku yang merefleksikan apa yang sudah ia pelajari. Tingkah laku baru yang ditampilkan sebagai hasil belajar ini, penting bagi siswa karena akan memberikan kepuasan, dan selanjutnya akan mendorongnya untuk belajar lebih lanjut. Fase ini memberikan gambaran apakah tujuan belajar telah tercapai atau belum.
h.      Fase umpan balik ( Feedback phase)
Belajar tidak dengan sendirinya berhasil baik. Oleh sebab itu pelajar harus mengetahui apakah jawabannya tepat. Feedback pada manusia merupakan tanda bahwa jawabannya benar. Di sini pun tak perlu selalu dikatakan bahwa jawabannya itu benar. Sering anak mengetahuinya dari senyuman, anggukan kepala, pandangan mata guru atau isyarat lain. Feedback mempertinggi efektivitas dan efisiensi belajar.
Feedback dapat juga dilakukan oleh murid sendiri, yakni bila ia dapat atau diberi jalan untuk memeriksa sendiri benar tidaknya jawabannya. Mengetahui keberhasilan belajar memberi kepuasan yang mempercepat proses belajar. Siswa yang sanggup men-check kebenaran hasil belajarnya telah sanggup untuk belajar secara individual dan belajar sepanjang hidupnya. Tidak ada metode mengajar yang menjamin keberhasilan. Keberhasilan  baru diketahui bila ada penilaian yang dapat menunjukkan kesalahan dan kekurangan sebagai feedback untuk diperbaiki. Mengabaikan feedback adalah meniadakan salah satu aspek yang penting dalam proses belajar.
»»  read more

Teori Belajar Polya

Polya (1985) mengartikan pemecahan masalah sebagai satu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah segera untuk dicapai, sedangkan menurut utari (1994) dalam (hamsah 2003) mengatakan bahwa pemecahan masalah dapat berupa menciptakan ide baru, menemukan teknik atau produk baru. Bahkan didalam pembelajaran matematika, selain pemecahan masalah mempunyai arti khusus, istilah tersebut mempunyai interpretasi yang berbeda, misalnya menyelesaikan soal cerita yang tidak rutin dan mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari.Polya(1985) mengajukan empat langkah fase penyelesaian masalah yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah dan melakukan pengecekan kembali semua langkah yang telah dikerjakan.
Fase memahami masalah tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin menyelesaikan masalah tersebut dengan benar, selanjutnya para siswa harus mampu menyusun rencana atau strategi.
Penyelesaian masalah, dalam fase ini sangat tergantung pada pengalaman siswa lebih kreatif dalam menyusun penyelesaian suatu masalah, jika rencana penyelesaian satu masalah telah dibuat baik tertulis maupun tidak. Langkah selanjutnya adalah siswa mampu menyelesaikan masalah, sesuai dengan rencana yang telah disusun dan dianggap tepat. Dan langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah menurut polya adalah melakukan pengecekan atas apa yang dilakukan. Mulai dari fase pertama hingga hingga fase ketiga. Dengan model seperti ini maka kesalahan yang tidak perlu terjadi dapat dikoreksi kembali sehingga siswa dapat menemukan jawaban yang benar-benar sesuai dengan masalah yang diberikan.
Tingkat kesulitan soal pemecahan masalah harus di sesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Hasil penelitian Driscol (1982). Pada anak usia sekolah dasar kemampuan pemecahan masalah erat sekali hubungannya dengan pemecahan masalah. Disadari atau tidak setiap hari kita diperhadapkan dengan berbagai masalah yang dalam penyelesaiannya, sering kita diperhadapkan dengan masalah–masalah yang pelik dan tidak bisa diselesaikan dengan segera. Dengan demikian, tugas guru adalah membantu siswa dalam menyelesaikan masalah dengan spektrum yang luas yakni membantu siswa dalam memehami masalah, sehingga kemampuan dalam memahami konteks masalah bisa terus berkembang menggunakan kemampuan inguiri dalam menganalisa alasan mengapa masalah itu muncul. Dalam matematika hal seperti itu biasanya berupa pemecahan masalah yang didalamnya termuat soal cerita untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah hal yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan menyangkut berbagai hal teknik dan strategi pemecah masalah,pengetahuan, keterampilan dan pemahaman merupakan elemen–elemen penting dalam belajar matematika terkadang guru menghadapi kesulitan dalam mengajarkan cara menyelesaikan masalah dengan baik. Sementara dipihak lain siswa mengalami kesulitan bagaimana menyelesaikan masalah yang diberikan guru, kesulitan ini muncul, karena mencari jawaban dipandang sebagai satu-satunya tujuan yang ingin dicapai, karena hanya terfokus pada jawaban.

A.                Perencanaan Mengajarkan Pemecahan Masalah
Mengajar siswa untuk memecahkan masalah perlu perencanaan. Secara-garis besar, perencanaan itu sebagai berikut.
(1)               Merumuskan tujuan.
Tujuan itu hendaknya menyatakan bahwa siswa akan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang tidak rutin. Soal-soal yang serupa benar hendaknya dihindarkan sebab soal-soal yang demikian itu menjadi bukan masalah lagi bagi siswa tertentu.
(2)               Memerlukan pra-syarat.
Untuk menyelesaikan setiap masalah matematika, seorang siswa memerlukan pra-syarat pengetahuan, keterampilan dan pemahaman. Guru harus mengindentifikasi apa-apa yang sudah dipelajari siswa untuk suatu masalah sehingga masalah-masalah yang cocok sajalah yang disajikan kepada para siswa
Misalnya masalah berikut.
Buktikan jumlah dua bilangan prima kembar yang bukan 3 dan 5 habis dibagi 6.
Prasyarat yang perlu dimiliki seorang siswa untuk menyelesaikan masalah itu adalah bahwa siswa itu sudah mengerti arti habis dibagi 6, bilangan prima dan bilangan prima kembar. la sudah terampil menggunakan operasi membagi.
(3)               Mengajarkan Pemecahan Masalah.
Untuk belajar memecahkan masalah, para siswa harus mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan masalah. Apabila mereka berhasil menyelesaikan masalah, mereka perlu mendapatkan penghargaan. Jadi mereka perlu mendapatkan pendekatan pedagogik untuk menyelesaikan masalah. Yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana seorang guru menyiapkan masalah-masalah untuk para siswa dan bagaimana guru itu membuat para siswa tertarik dan suka menyelesaikan masalah yang dihadapi. Guru harus mempunyai bermacam-macam masalah yang cocok sehingga bermakna bagi para siswanya. Sumber-sumber boleh diambil dari buku-buku, majalah-majalah yang berhubungan dengan matematika sekolah. Berikan masalah-masalah itu sebagai pekerjaan rumah. Pada suatu saat boleh juga para siswa memilih sendiri masalah-masalah itu, mengerjakan masalah-masalah tersebut, membicarakannya dan kemudian menyajikan penyelesaianya di depan kelas. Masalah-masalah tersebut dapat dikerjakan secara individu atau kelompok.
Agar supaya para siswa tertarik dan suka menyelesaikan masalah yang dihadapi perlu diberikan penghargaan. penghargaan itu dapat berupa nilai atau penghargaan khusus lainnya. Pujian juga jangan dilupakan. Hal itu semuanya merupakan cara yang efektif untuk mendorong keberhasilan, walaupun banyak juga para siswa yang dengan senang hati menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi mereka memberikan penghargaan kepada diri mereka sendiri dengan kcberhasilan mereka itu.
Pertanyaan berikutnya yang timbul : "Bagaimana seorang siswa memulai menyelesaikan suatu masalah?" "Bagaimana strategi yang dapat dilakukan?" "Kemampuan apa yang akan bermanfaat baginya untuk menyelesaikan masalah itu?" Ketiga hal ini, secara bersama-sama merupakan usaha untuk menemukan.Untuk dapat mengajarkan pemecahan masalah dengan baik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
  1. Waktu yang diperlukan, untuk menyelesikan masalah sangat relatif artinya jika seseorang diperhadapkan dengan satu masalah dengan waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya tidak dibatasi, maka kecendrungannya, orang tersebut tidak akan mengkonsentrasikan fikirannya secara penuh pada proses penyelesaian masalah yang diberikan.
  2. Perencanaan, aktivitas pembelajaran dan waktu yang diperlukan harus direncanakan serta dikoordinasikan, sehingga siswa memiliki kesempatan yang cukup untuk menyelesaikan  berbagai masalah dan menganalisis serta mendiskusikan pendekatan yang mereka pilih.
  3. Sumber, buku matematika biasanya banyak memuat masalah yang sifatnya hanya rutin, maka guru dituntut untu menyembunyikan masalah-masalah lain sehingga dapat menambah soal pemecahan masalah.
  4. Teknologi, sekalipun banyak kalangan yang tidak setuju dengan penggunaan kalkulator disekolah akan tetapi pada hal tertentu dapat digunakan, karena alat tersebut perlu dipertimbangkan penggunaannya.

C.    Langkah-langkah Penerapan strategi penyelesaian masalah menurut Polya.
Berbicara pemecahan masalah, kita tidak bisa terlepas dari tokoh utamanya yaitu Polya.  Menurut polya dalam pemecahan masalah.  Ada empat langkah yang harus dilakukan,
Keempat tahapan ini lebih dikenal dengan See (memahami problem), Plan (menyusun rencana), Do (melaksanakan rencana) dan Check (menguji jawaban), sudah menjadi jargon sehari-hari dalam penyelesaian problem sehingga Polya layak disebut dengan “Bapak problem solving.”
Gambaran umum dari Kerangka kerja Polya:
1.         Pemahaman pada masalah (Identifikasi dari tujuan)
Langkah pertama adalah membaca soalnya dan meyakinkan diri bahwa anda memahaminya secara benar. Tanyalah diri anda dengan pertanyaan :
o   Apa yang tidak diketahui?
o   Kuantitas apa yang diberikan pada soal?
o   Kondisinya bagaimana?
o   Apakah ada kekecualian?
Untuk beberapa masalah akan sangat berguna untuk
membuat diagranmnya dan mengidentifikasi kuantitas-kuantitas yang diketahui dan dibutuhkan pada diagram tersebut. Biasanya dibutuhkan membuat beberapa notasi ( x, a, b, c, V=volume, m=massa dsb ).
2.         Membuat Rencana Pemecahan Masalah
Kedua: Carilah hubungan antara informasi yang diberikan dengan yang tidak diketahui yang memungkinkan anda untuk memghitung variabel yang tidak diketahui. Akan sangat berguna untuk membuat pertanyaan: “Bagaimana saya akan menghubungkan hal yang diketahui untuk mencari hal yang tidak diketahui? “. Jika anda tak melihat hubungan secara langsung, gagasan berikut ini mungkin akan menolong dalam membagi masalah ke sub masalah
o   Membuat sub masalah
o   Pada masalah yang komplek, akan sangat berguna untuk membantu jika anda membaginya kedalam beberapa sub masalah, sehingga anda dapat membangunya untuk menyelesaikan masalah.
o   Cobalah untuk mengenali sesuatu yang sudah dikenali.
o   Hubungkan masalah tersebut dengan hal yang sebelumnya sudah dikenali. Lihatlah pada hal yang tidak diketahui dan cobalah untuk mengingat masalah yang mirip atau memiliki prinsip yang sama.
o   Cobalah untuk mengenali polanya.
o   Beberapa masalah dapat dipecahkan dengan cara mengenali polanya. Pola tersebut dapat berupa pola geometri atau pola aljabar. Jika anda melihat keteraturan atau pengulangan dalam soal, anda dapat menduga apa yang selanjutnya akan terjadi dari pola tersbut dan membuktikannya.
o   Gunakan analogi
o   Cobalah untuk memikirkan analogi dari masalah tersebut, yaitu, masalah yang mirip, masalah yang berhubungan, yang lebih sederhana sehingga memberikan anda petunjuk yang dibutuhkan dalam memecahkan masalah yang lebih sulit. Contoh, jika masalahnya ada pada ruang tiga dimensi, cobalah untuk melihat masalah sejenis dalam bidang dua dimensi. Atau jika masalah terlalu umum, anda dapat mencobanya pada kasus khusus
o   Masukan sesuatu yang baru
o   Mungkin suatu saat perlu untuk memasukan sesuatu yang baru, peralatan tambahan, untuk membuat hubunganantara data dengan hal yang tidak diketahui.Contoh, diagram sangat bermanfaat dalam membuat suatu garis bantu.
o   Buatlah kasus
o   Kadang-kadang kita harus memecah sebuah masalah kedalam beberapa kasus dan pecahkan setiap kasus terbut.
o   Mulailah dari akhir (Asumsikan Jawabannya)
Sangat berguna jika kita membuat pemisalan solusi masalah, tahap demi tahap mulai dari jawaban masalah sampai ke data yang diberikan
3.         Malaksanakan Rencana
Ketiga. Menyelesaikan rencana anda.
Dalam melaksanakan rencana yang tertuang pada langkah kedua, kita harus memeriksa tiap langkah dalam rencana dan menuliskannya secara detail untuk memastikan bahwa tiap langkah sudah benar. Sebuah persamaan tidaklah cukup!

4.         Lihatlah kembali
Keempat. Ujilah solusi yang telah didapatkan.
Kritisi hasilnya. lihatlah kelemahan dari solusi yang didapatkan (seperti: ketidak konsistenan atau ambiguitas atau langkah yang tidak benar )
Pada saat guru menggunakan strategi ini, sebaiknya ditekankan bahwa penggunaan objek yang dicontohkan dapat diganti dengan satu model yang lebih sederhana, misalnya :
  1. Membuat gambar atau diagram.
Penekanan ini perlu dilakukan bahwa gambar atau diagram yang dibuat tidak perlu sempurna, terlalu bagus atau terlalu aktual, yang penting bagian-bagian terpenting dari gambar itu dapat memperjelas masalah.
  1. Menemukan pola
Kegiatan matematika yang berkaitan dengan proses menemukan suatu poladari sejumlah data yang diberikan, dapat mulai dilakukan melalui sekumpulan gambar atau bilangan.  Kegiatan yang mungkin dilakukan antara lain dengan mengobservasi sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh kumpulan gambar atau bilangan yang tersedia.  Sebagai suatu strategi untuk pemecahan masalah, pencarian pola yang pada awalnya hanya dilakukan secara pasif melalui permasalahan yang dikeluarkan oleh guru, pada suatu saat keterampilan itu akan terbentuk dengan sendirinya sehingga pada saat menghadapi permasalahan tertentu, salah satu pertanyaan yang mungkin muncul pada benak seseorang antara lain adalah :”Adakah pola atau keteraturan tertentu yang mengaitkan tiap data yang diberikan?”.  Tanpa melalui latihan sangat sulit bagi seseorang untuk menyadari bahwa dalam permasalahan yang dihadapinya terdapat pola yang bisa diungkap.
  1. Membuat tabel
Mengorganisasi data ke dalam sebuah tabel dapat membantu kita dalam mengungkapkan suatu pola tertentu serta dalam mengidentifikasi informasi yang tidak lengkap.  Penggunaan tabel merupakan langkah yang sangat efisien untuk melakukan klasifikasi serta menyusun sejumlah besar data sehingga apabila muncul pertanyaan baru berkenaan dengan data tersebut, maka kita akan dengan mudah menggunakan data tersebut, sehingga jawaban pertanyaan tadi dapat diselesaikan dengan baik.
  1. Memperhatikan semua kemungkinan secara sistematik
Strategi ini biasanya digunakan bersamaan dengan strategi mencari pola dan menggambar tabel.  Dalam menggunakan strategi ini, kita tidak perlu memperhatikan keseluruhan kemungkinan yang bisa terjadi.Yang kita perhatikan adalah semua kemungkinan yang diperoleh dengan cara sistematik. Yang dimaksud sistematik disini misalnya dengan mengorganisasikan data berdasarkan kategori tertentu.  Namun demikian, untuk masalah-masalah tertentu, mungkin kita harus memperhatikan semua kemungkinan yang bisa terjadi.
  1. Tebak dan periksa ( Guess and Check )
Strategi menebak yang dimaksudkan disini adalah menebak yang didasarkan pada alasan tertentu serta kehati-hatian.  Selain itu, untuk dapat melakukan tebakan dengan baik seseorang perlu memiliki pengalaman cukup yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi
Contoh:
Letakkan bilangan-bilangan dalam kotak di bawah ini pada persegi-persegi, sehingga bilangan yang terletak pada masing-masing lingkaran berjumlah sama.
-1    -2     -3     -4    -5     -6





Jawab
1.      Pemahaman pada masalah (Identifikasi dari tujuan)
Diketahui:
a.       Meletakkan Bilangan-bilangan dalam kotak yang satu lingkaran
b.      Bilangan –bilangan itu: 
-1    -2     -3     -4    -5     -6
2.      Membuat Rencana Pemecahan Masalah
Lakukan percobaan dengan cara mengambil satu persatu bilangan yang diketahui kemudian jumlahkan yang terletak pada satu lingkaran.
3.      Malaksanakan Rencana
Dengan berbagai percobaan didapatlah sebagai berikut.














-6
 


-3
 

-5
 




-2
 

-1
 



-4
 
 


4.      Lihatlah kembali
Dengan memeriksa setelah memasukkan digit tadi, sehingga lebih yakinlah peserta didik.
  1. Strategi kerja mundur
Suatu masalah kadang-kadang disajikan dalam suatu cara sehingga yang diketahui itu sebenarnya merupakan hasil dari proses tertentu, sedangkan komponen yang ditanyakan merupakan komponen yang seharusnya muncul lebih awal. Penyelesaian masalah seperti ini biasanya dapat dilakukan dengan menggunakan strategi mundur.
Contoh:
Bagas dan Soni berencana untuk makan di warung Pak Bimo dan pergi latihan softball bersama. Latihan softball dimulai pukul 10.00. Bagas memerlukan waktu ¾ jam untuk menjemput Soni dan pergi ke warung Pak Bimo dekat lokasi latihan softball. Untuk makan dan berjalan ke lokasi latihan diperlukan waktu 1 ¼ jam. Mereka ingin tiba di lokasi latihan 15 menit sebelum di mulai. Pukul berapa Bagas seharusnya meninggalkan rumahnya?

Jawab:
1.      Pemahaman pada masalah (Identifikasi dari tujuan)
Diketahui:
a.       softball dimulai pukul 10.00
b.      Menjemput Soni ¾ jam
c.       makan dan berjalan ke lokasi latihan 1 ¼ jam
d.      ingin tiba di lokasi latihan 15 menit sebelum di mulai.
e.       Pukul berapa Bagas seharusnya meninggalkan rumahnya?
2.      Membuat Rencana Pemecahan Masalah
Bekerja mundur salah satu langkah pemecahan masalah ini yang efektif dan efisien yaitu mulai dari pukul 10.00 kemudian dikurangi 15 menit dikurangi pula 1 ¼ jam selajutnya dikurangi lagi ¾ jam.
3.      Malaksanakan Rencana
Dengan memperhatikan rencana pemecahan masalah yang telah dibuat maka dapat dihitung sebagai berikut:
Dimulai pukul 10.00. Tiba di lokasi 10.00-15 menit = 9.45
Makan dan berjalan 9.45 – 1.15 = 8.30
Menjemput Soni dan ke warung 8.30-45 menit = 7.45
Jadi Bagas meninggalkan rumah pukul 7.45
4.      Lihatlah kembali
Dengan memeriksa setelah mendapatkan hasilnya dapatlah dicek kebenarannya dengan memulai berangkat dari pukul 7.45 kemudian menambahkan ¾ jam = 7.45 + 45 = 8.30 selajutnya 8.30 dijumlahkan dengan 1 ¼ jam = 8.30 + 1.15 = 9.45 . Hal ini berarti bahwa benar tiba 15 menit sebelum pukul 10.00 sehingga lebih yakinlah peserta didik bahwa jawaban yang dicari benar.
  1. Menggunakan kalimat terbuka
Strategi ini juga termasuk sering diberikan dalam buku matematika sekolah dasar.  Walaupun strategi ini termasuk sering digunakan, akan tetapi pada langkah awal anak seringkali mendapat kesulitan untuk menentukan kalimat terbuka yang sesuai. Untuk sampai pada kalimat yang dicari, seringkali harus melalui penggunaan strategi lain, dengan maksud agar hubungan antar unsur yang terkandung di dalam masalah dapat dilihat secara jelas.  Setelah itu baru dibuat kalimat terbukanya.
D.    Aplikasi Pemecahan Masalah Polya Dalam Pembelajaran Matematika
  1. Contoh : Seorang guru mengajukan masalah dengan meminta siswa untuk menjumlahkan 100 bilangan asli yang pertama.
Jika siswa tersebut menjumlahkan angka 1,2,3...100 maka akan menyita waktu yang cukup lama untuk menemukan jawabannya, akan tetapi dengan menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah maka waktu yang digunakan cukup cepat.
Memahami masalah : bilangan 1,2,3,4...100 dengan demikian masalah yang muncul adalah 1+2+3...+100 = ....?
Merencanakan penyelesaian, salah satu strategi yang diterapkan adalah mencari kemungkinan adanya satu pola.Untuk menyelesaikan masalah ini bila dilakukan pola seperti :
    1 + 2  + 3 + ............. + 100 = x
100 + 99+98+...............+     1= x
101 +101+101 + ..........+101 = 2x
Karena jumlah nya 101maka ada 100 pasang bilangan yang berjumlah 101.
Menyelesaikan masalah, jika terdapat 100 pasang bilangan 101, maka hasilnya adalah 2x, maka akan di peroleh 100 x 101 = 2X
                                                      X = 1010/ 2
                                                      X =  5050
Memeriksa kembali, metode yang digunakan secara matematika sudah benar. Sebab penjumlahan dapat dilakukan dalam urutan yang berbeda dan perkalian adalah penjumlahan yang berulang.
Jika masalah umum muncul, tentukanlah jumlah n bilangan asli yang pertama :
1 + 2 + 3 ... + n. Dengan n bilangan asli.  Jika merupakan bilangan genap, maka cara seperti sebelumnya dapat digunakan
  1 + 2 + 3   + . . . . . . . . . .+ n = X
  n  + .................   .3 + 2  + 1  = X
(n + 1 )                                    =2X
pasangan bilangan yang masing-masing berjumlah n + 1.  Sebanyak n maka dengan demikian jumlah keseluruhan didapat ( n / 2 ) ( n + 1 ).
  1. Lima orang pemain catur, Ali, Ani, Amin, Hamsah, dan Suko berpartisipasi suatu pertandingan catur yang mewakili sekolahannya. Masing-masing ­tim harus paling sedikit seorang memainkan bidak hitam dan seorang yang lain memainkan bidak putih. Dua orang siswa mewakili ”Sekolah Nusantara" dan tiga orang siswa lainnya mewakili "Sekolah bumi putera". dari kelima siswa yang bertanding itu, tiga siswa memainkan bidak hitam, dua lainnya memainkan bidak putih. Ali dan Hamzah berasal dari sekolah yang sama, sedang Amin dan Suko berbeda sekolah. Ani dan Amin memainkan bidak yang sama sedang Hamzah dan Suko memainkan bidak yang berbeda warnanya. Seorang pemain bidak putih dari ”Sekolah Nusantara" sebagai pemenang. Siapa pemenang itu ?

Jawab.
1)      Memahami masalah.
Dari kelima siswa.
a)      Dalam bermain catur berpasangan, satu pihak memainkan bidak putih dan pihak lain memainkan bidak hitam.
b)      Dua orang mewakili "Sekolah Nusantara", tiga orang mewakili "Sekolah bumi Putera".
c)      Tiga orang memainkan bidak hitam, dua orang memainkan bidak putih
d)     Ali dan Hamzah dari sekolah yang sama
Amin dan Suko dari sekolah yang berbeda
Ani dan Amin memainkan bidak yang sama warnanya
Hamzah dan Suko memainkan bidak yang berbeda warnanya.
2)      Merencanakan penyelesaian.
Kita akan menyusun tabel yang disesuaikan dengan fakta, yang diketahui dengan tanda "+" atau ”-” untuk masing-masing pemain bidak hitam; pemain bidak putih. Juga ”+”   atau "-" masing-masing untuk Seko­ah Nusantara dan Sekolah Bumi Putera.

Kategori
Ali
Ani
Amin
Hamzah
Suko
Bidak hitam
Bidak putih
Nusantara
Bumi utera
-
+
-
+
+
-
+
-
+
-
-
+
+
-
-
+
-
+
+
-

3)      Melaksanakan perencanaan.
Ali dan Hamzah dari sekolah yang sama, Amin dan Suko dari sekolah yang berbeda. Apa yang dapat kita simpulkan ? (Ali dan Hamzah serta Amin atau Suko dari Sekolah Bumi Putera). Ani haruslah dari Sekolah Nusantara. Ani dan Amin memainkan bidak hitam, demikian juga Hamzah atau Suko. Jadi Ali memainkan bidak putih. Pemain bidak putih yang lain adalah Hamzah tidak dari Sekolah Nusantara. Suko yang dapat dari Sekolah Nusantara. Dengan demikian Suko adalah pemain bidak putih dan dari Sekolah Nusantara atau dengan kata lain pemenangnya adalah Suko.
4)      Melihat Kembali Penyelesaian
Langkah "melihat kembali" untuk melihat apakah penyelesaian yang kita peroleh sudah sesuai dengan ketentuan yang diketahui dan tidak terjadi kontradiksi merupakan langkah terakhir yang penting. Terdapat empat komponen untuk mereviu suatu penyelesaian sebagai berikut.
(1)               Kita cek hasilnya.
(2)               Kita intepertasikan jawaban yang kita peroleh.
(3)               Kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah ada cara lain untuk mendapatkan penyelesian yang sama.
(4)               Kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah ada penyelesaian yang lain ?
Perlu kita sadari janganlah kita langsung mengharapkan dapat menjawab benar untuk semua masalah. Menyelesaikan masalah memerlukan waktu dan berkelanjutan, tidak terpenggal-penggal dalam proses berpikir kita. Namun bila pendekatan yang kita gunakan tepat, nampaknya masalah yang sulit kadang-kadang berubah menjadi masalah yang mudah.

B.     Karakteristik Bagi Orang Yang Mampu Melakukan Problem Solving
Pemecahan masalah telah dilakukan beberapa puluh tahun yang lalu diantaranya di lakukan oleh Dodson (1971); Hollander (1974) dalam Wono Setya Budi (2005:3).   Menurut mereka kemampuan pemecahhan masalah yang harus ditumbuhkan adalah :
1.                  Kemampuan mengerti konsep dan istilah matematika.
2.                  Kemampuan untuk mencatat kesamaan, perbedaan dan analog.
3.                  Kemampuan untuk mengidentifikasi elemen terpenting dan memilih prosedur yang benar.
4.                  Kemampuan untuk mengetahui hal yang tidak berkaitan.
5.                  Kemampuan menaksir dan menganalisa.
6.                  Kemampuan mengvisualisasi dan menginterpretasi kuantitas.
7.                  Kemampuan untuk memperumum berdasarkan beberapa contoh.
8.                  Kemampuan untuk berganti metoda yang di ketahui.
Selain kemampuan di atas, siswa mempunyai keadaan yang tentu untuk masa yang akan datang sehingga dengan percaya diri dapat mengembangkan kemampuan tersebut.
»»  read more

Senin, 08 November 2010

Sejarah Matematika

Sebelum zaman modern dan penyebaran ilmu pengetahuan ke seluruh dunia, contoh-contoh tertulis dari pengembangan matematika telah mengalami kemilau hanya di beberapa tempat. Tulisan matematika terkuno yang telah ditemukan adalah Plimpton 322 (matematika Babilonia sekitar 1900 SM), Lembaran Matematika Rhind (Matematika Mesir sekitar 2000-1800 SM) dan Lembaran Matematika Moskwa (matematika Mesir sekitar 1890 SM). Semua tulisan itu membahas teorema yang umum dikenal sebagai teorema Pythagoras, yang tampaknya menjadi pengembangan matematika tertua dan paling tersebar luas setelah aritmetika dasar dan geometri.
Sumbangan matematikawan Yunani memurnikan metode-metode (khususnya melalui pengenalan penalaran deduktif dan kekakuan matematika di dalam pembuktian matematika) dan perluasan pokok bahasan matematika. Kata "matematika" itu sendiri diturunkan dari kata Yunani kuno, μάθημα (mathema), yang berarti "mata pelajaran". Matematika Cina membuat sumbangan dini, termasuk notasi posisional. Sistem bilangan Hindu-Arab dan aturan penggunaan operasinya, digunakan hingga kini, mungkin dikembangakan melalui kuliah pada milenium pertama Masehi di dalam matematika India dan telah diteruskan ke Barat melalui matematika Islam. Matematika Islam, pada gilirannya, mengembangkan dan memperluas pengetahuan matematika ke peradaban ini. Banyak naskah berbahasa Yunani dan Arab tentang matematika kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, yang mengarah pada pengembangan matematika lebih jauh lagi di Zaman Pertengahan Eropa.
Dari zaman kuno melalui Zaman Pertengahan, ledakan kreativitas matematika seringkali diikuti oleh abad-abad kemandekan. Bermula pada abad Renaisans Italia pada abad ke-16, pengembangan matematika baru, berinteraksi dengan penemuan ilmiah baru, dibuat pada pertumbuhan eksponensial yang berlanjut hingga kini.
»»  read more

Teori Belajar Jerome S. Bruner

Jerome S. Bruner (1915) adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik. Penelitiannya yang demikian banyak itu meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, Ia menganggap manusia sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi (dalam Wilis Dahar, 1988;118).
Jerome S. Bruner dalam teorinya (dalam Suherman E., 2003;43) menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak.
Bruner, melalui teorinya itu (dalam Suherman E., 2003), mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya.
Dengan memanipulasi alat-alat peraga, siswa dapat belajar melalui keaktifannya. Sebagaimana  yang dikemukakan oleh Bruner (dalam Suwarsono, 2002;25), belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar (melebihi) informasi yang diberikan pada dirinya. Sebagai contoh, seorang siswa yang mempelajari bilangan prima akan bisa menemukan berbagai hal yang penting dan menarik tentang bilangan prima, sekalipun pada awal mula guru hanya memberikan sedikit informasi tentang bilangan prima kepada siswa tersebut. Teori  Bruner  tentang kegiatan manusia tidak terkait dengan umur atau tahap perkembangan (berbeda dengan  Teori Piaget). Ada dua bagian yang penting  dari teori Bruner (dalam Suwarsono, 2002;25), yaitu :
a.    Tahap-Tahap Dalam Proses Belajar
b.   Teorema-teorema Tentang Cara Belajar dan Mengajar Matematika
Penjelasan tentang kedua bagian tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Tahap-Tahap Dalam Proses Belajar
 Menurut Bruner, jika seseorang mempelajari suatu pengetahuan (Misalnya mempelajari suatu konsep Matematika), pengetahuan itu perlu dipelajari  dalam tahap-tahap tertentu, agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut.  Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar  terjadi secara optimal) jika pengetahuan  yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga tahap, yang macamnya dan urutannya adalah sebagai berikut (dalam Suwarsono,2002;26) :
1.      Tahap enaktif, yaitu  suatu tahap pembelajaran  sesuatu pengetahuan  di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda kongkret atau menggunakan situasi yang nyata.
2.      Tahap Ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pegetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imagery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas.
3.      Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (Abstract symbols yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal (Misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat) lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak lainnya.
Menurut Bruner, proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap belajar yang pertama ini telah dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik, dan selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan dengan kegiatan belajar tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik. Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula  siswa mempelajari  hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret (Misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya). Kemudian kegiatan belajar digunakan dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut). Pada tahap yang kedua ini bisa juga siswa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagery) dari kelereng-kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya, siswa melakukan penjumlahan  kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan yaitu  3 + 2 = 5 (dalam Suwarsono,2002;27) .
            Di SLTP, dalam mempelajari irisan dua himpunan, siswa dapat mempelajari konsep tersebut dengan mula-mula menggunakan contoh nyata (konkret, misalnya dengan mengumpulkan data tentang siswa-siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda dan siswa-siswa yang menyukai olahraga basket (sebagai contoh), dan kemudian menentukan siswa-siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda dan menyukai  olahraga basket. Keadaan itu kemudian digambarkan dengan diagram venn. Selanjutnya, irisan dua himpunan dapat didefinisikan secara simbolik (dengan lambang-lambang), baik dengan lambang-lambang verbal (kata-kata, kalimat-kalimat) maupun dengan lambang-lambang matematika (Dalam hal ini notasi pembentuk himpunan) (dalam  Suwarsono,2002;25).

2.      Teorema-Teorema Tentang Cara Belajar Dan Mengajar Matematika
 Menurut Bruner ada empat prinsip prinsip tentang cara belajar dan mengajar matematika yang disebut teorema. Keempat teorema tersebut adalah teorema penyusunan (Construction theorem), teorema notasi (Notation theorem), teorema kekontrasan dan keanekaragaman (Contras  and variation theorem), teorema pengaitan (Connectivity theorem) (dalam Suherman E., 2003;44-47).
a)      Teorema penyusunan (Construction theorem)
Teorema ini menyatakan bahwa bagi anak cara yang paling baik untuk belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan melakukan penyusunan representasinya. Pada permulaan belajar konsep pengertian akan menjadi lebih melekat apabila kegiatan yang menujukkan representasi konsep itu dilakukan oleh siswa sendiri.
Dalam proses perumusan dan penyusunan ide-ide, apabila anak disertai dengan bantuan benda-benda konkrit mereka lebih mudah mengingat ide-ide tersebut. Dengan demikian, anak lebih mudah menerapkan ide dalam situasi nyata secara tepat. Dalam hal ini ingatan diperoleh bukan karena penguatan, akan tetapi pengertian yang menyebabkan ingatan itu dapat dicapai. Sedangkan pengertian itu dapat dicapai karena anak memanipulasi benda-benda konkrit. Oleh karena itu pada permulaan belajar, pengertian itu dapat dicapai oleh anak bergantung pada aktivitas-aktivitas yang menggunakan benda-benda konkrit.
Contoh, untuk memahami konsep penjumlahan misalnya 3 + 4 = 7, siswa bisa melakukan dua langkah berurutan, yaitu 3 kotak dan empat kotak pada garis bilangan. Dengan mengulangi hal yang sama untuk dua bilangan yang lainnya anak-anak akan memahami konsep penjumlahan dengan pengertian yang mendalam.

b.)  Teorema Notasi
            Teorema notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Ini berarti untuk menyatakan sebuah rumus misalnya, maka notasinya harus dapat dipahami oleh anak, tidak rumit dan mudah dimengerti.

 
            Sebagai contoh pada permulaan konsep fungsi diperkenalkan pada anak SD kelas-kelas akhir, notasi yang sesuai menyatakan fungsi
      =2   + 3, untuk tingkat yang lebih tinggi misalnya siswa SMP notasi fungsi dituliskan y = 2x + 3, setelah anak memasuki SMA atau perguruan tinggi Notasi fungsi dituliskan dengan f(x) = 2x + 3.
            Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Urutan penggunaan notasi disesuaikan dengan tingkat perkembangan  kognitif anak.
c.)  Teorema pengkontrasan dan keanekaragaman
Dalam teorema ini dinyatakan bahwa dalam mengubah dari representasi konkrit menuju representasi yang lebih abstrak suatu konsep dalam matematika, dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan keanekaragaman. Artinya agar suatu konsep yang akan dikenalkan pada anak mudah dimengerti, konsep tersebut disajikan dengan mengontraskan dengan konsep-konsep lainnya dan konsep tersebut disajikan dengan beranekaragam contoh. Dengan demikian anak dapat memahami dengan mudah karakteristik konsep yang diberikan tersebut.
Untuk menyampaikan suatu konsep dengan cara mengontraskan dapat dilakukan dengan menerangkan contoh dan bukan contoh. Sebagai contoh untuk menyampaikan konsep bilangan ganjil pada anak diberikan padanya bermacam-macam bilangan, seperti bilangan ganjil, bilangan genap, bilangan prima, dan bilangan lainnya selain bilangan ganjil. Kemudian siswa diminta untuk menunjukkan bilangan-bilangan yang termasuk contoh bilangan ganjil dan contoh bukan bilangan ganjil.
Sebagai contoh lain, untuk menjelaskan pengertian persegipanjang, anak harus diberi contoh bujursangkar, belahketupat, jajar genjang dan segiempat lainnya selain persegipanjang. Dengan demikian anak dapat membedakan apakah segiempat yang diberikan padanya termasuk persegipanjang atau tidak.
Dengan contoh soal yang beranekaragam, kita dapat menanamkan suatu konsep dengan lebih baik daripada hanya contoh-contoh soal yang sejenis saja. Dengan keanekaragaman contoh yang diberikan siswa dapat mengenal dengan jelas karakteristik konsep yang diberikan kepadanya. Misalnya, dalam pembelajaran konsep persegi panjang, persegi panjang sebaiknya ditampilkan dengan berbagai contoh yang bervariasi, misalnya ada persegi panjang yang posisinya bervariasi (ada yang kedua sisinya yang berhadapan terletak horisontal  dan dua sisi yang lainnya vertikal, ada yang posisinya miring, dan sebagainya).
d.)  Teorema pengaitan (Konektivitas)
            Teorema ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya, atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya konsep dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel Pythagoras atau pembuktian rumus kuadratis dalam trigonometri.
            Guru harus dapat menjelaskan kaitan-kaitan tersebut pada siswa. Hal ini penting agar siswa dalam belajar matematika lebih berhasil. Dengan melihat kaitan-kaitan itu diharapkan siswa tidak beranggapan bahwa cabang-cabang dalam matematika itu sendiri berdiri sendiri-sendiri tanpa keterkaitan satu sama lainnya.
Perlu dijelaskan bahwa keempat teorema tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk diterapkan satu persatu dengan urutan seperti di atas. Dalam penerapannya, dua teorema atau lebih dapat diterapkan secara bersamaan dalam proses pembelajaran suatu materi matematika tertentu. Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari materi atau topik matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang belajar.
A.    Belajar Penemuan
Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning) (dalam Wilis R.,1988;125-126). Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (yaitu kegiatan belajar dengan pemahaman).  Belajar bermakna merupakan satu-satunya jenis belajar yang mendapat perhatian Bruner.
Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-pninsip, agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukan beberapa kebaikan. Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat,, atau lebih mudah diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain. Kedua. hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dijadikan milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru. Ketiga, secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
Selanjutnya dikemukakan, bahwa belajar penemuan membangkitkan keinginan-tahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban-jawaban. Lagi pula pendekatan ini dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain, dan meminta para siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja.
Bruner menyadari, bahwa belajar penemuan yang murni memerlukan waktu, karena itu dalam bukunya ‘The Relevance of Education” (1971), Ia menyarankan agar penggunaan belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas tertentu, yaitu dengan mengarahkannya pada struktur bidang studi.
Struktur suatu bidang studi terutama diberikan oleh konsep-konsep dasar dan prinsip-prinsip dan bidang studi itu. Bila seorang siswa telah rnenguasai struktur dasar, maka kurang sulit baginya untuk mempelajari bahan-bahan pelajaran lain dalam bidang studi yang sama, dan Ia akan lebih mudah ingat akan bahan baru itu. Hal ini disebabkan karena ia telah memperoleh kerangka pengetahuan yang bermakna, yang dapat digunakannya untuk melihat hubungan-hubungan yang esensial dalam bidang studi itu, dan dengan demikian dapat memahami hal-hal yang mendetail.
Menurut Bruner, mengerti struktur suatu bidang studi ialah memahami bidang studi itu demikian rupa, hingga dapat menghubungkan hal-hal lain pada struktur itu secara bermakna. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa mempelajari struktur adalah mempelajari bagaimana hal-hal dihubungkan.

B.     Aplikasi Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran Matematika
Dalam bagian ini akan dibahas bagaimana menerapkan belajar penemuan pada siswa, ditinjau dari segi pendekatan, metoda, tujuan, serta peranan guru (dalam Wilis R.,1988;129-132).
1.      Pendekatan Spiral dalam Pembelajaran Matematika       
Disebabkan oleh adanya peningkatan taraf kemampuan berfikir para siswa sesuai dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan mereka, Bruner (dalam  Suwarsono,2002;31) menganjurkan digunakannya pendekatan spiral (Spiral approach) dalam pembelajaran matematika. Maksudnya, sesuatu materi matematika tertentu seringkali perlu diajarkan beberapa kali pada siswa yang sama selama kurun waktu siswa tersebut berada di sekolah, tetapi dari saat pembelajaran yang satu ke saat pembelajaran berikutnya terjadi peningkatan dalam tingkat keabstrakan dan kompleksitas dari materi yang dipelajari, termasuk peningkatan dalam keformalan sistem notasi yang digunakan. Sebagai contoh, pada suatu saat siswa SLTP  mempelajari fungsi  yang daerah asal dan daerah kawannya berupa himpunan yang berasal dari kehidupan sehari-hari, dan dengan system notasi yang masih sederhana. Pada suatu saat di kemudian hari, siswa yang sama mempelajari  fungsi untuk kedua kalinya, tetapi dengan melibatkan daerah asal dan daerah kawan yang berupa himpunan bilangan, dengan sistem notasi yang lebih formal. Pada saat berikutnya, pembahasan tentang fungsi bisa  ditingkatkan lagi baik dalam hal kerumitan materi, variasi (kelengkapan) materi, maupun dalam sistem notasi yang digunakan. Peningkatan dalam hal materi pembelajaran dan sistem notasi tersebut diupayakan seiring dengan peningkatan kemampuan dan kematangan siswa dalam berpikir, sesuai dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan siswa.
2.      Metoda dan Tujuan
Dalam belajar penemuan, metoda dan tujuan tidak sepenuhnya seiring. Tujuan belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja. Tujuan belajar sebenarnya ialah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih kemampuan-kemampuan intelektual para siswa, dan merangsang keinginan tahu mereka dan memotivasi kemampuan mereka. Inilah yang dimaksud dengan memperoleh pengetahuan melalui belajar penemuan.
Jadi, kalau kita mengajarkan sains misalnya, kita bukan akan menghasilkan perpustakaan-perpustakaan hidup kecil tentang sains, melainkan kita ingin membuat anak-anak kita berpikir secara matematis bagi dirinya sendiri, berperan serta dalam proses perolehan pengetahuan. Mengetahui itu adalah suatu proses, bukan suatu produk.
Apakah implikasi ungkapan Bruner itu? Tujuan-tujuan mengajar hanya dapat diuraikan secara garis besar, dan dapat dicapai dengan càra-cara yang tidak perlu sama oleh para siswa yang mengikuti pelajaran yang sama itu.
Dengan mengajar seperti yang dimaksud oleh Bruner ini, bagaimana peranan guru dalam proses belajar mengajar? Dalam belajar penemuan siswa mendapat kebebasan sampai batas-batas tertentu untuk menyelidiki, secara perorangan atau dalam suatu tanya jawab dengan guru, atau oleh guru dan/atau siswa-siswa lain, untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru, atau oleh guru dan siswa-siswa bersama-sama. Dengan demikian jelas, bahwa peranan guru lain sekali bila dibandingkan dengan peranan guru yang mengajar secara klasikal dengan metoda ceramah. Dalam belajar penemuan ini, guru tidak begitu mengendalikan proses belajar mengajar.
3.      Peranan Guru
Dalam belajar penemuan, peranan guru dapat dirangkum sebagai berikut :
a.          Merencanakan pelajaran demikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki oleh para siswa.
b.         Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan penggunaan fakta-fakta yang berlawanan. Guru hendaknya mulai dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru mengemukakan sesuatu yang berlawanan. Dengan demikian terjadi konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya timbullah masalah. Dalam keadaan yang ideal, hal yang berlawanan itu menimbulkan suatu kesangsian yang merangsang para siswa untuk menyelidiki masalah itu, menyusun hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang mendasari masalah itu.
c.          Selain hal-hal yang tersebut di atas, guru juga harus memperhatikan tiga cara penyajian yang telah dibahas terdahulu. Cara cara penyajian itu ialah cara enaktif, cara ikonik, dan cara simbolik. Contoh cara-cara penyajian ini telah diberikan dalam uraian terdahulu.
Untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya jangan menggunakan cara penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif siswa. Disarankan agar guru mengikuti aturan penyajian dari enaktif, ikonik, lalu simbolik. Perkembangan intelektual diasumsikan mengikuti urutan enaktif, ikonik, dan simbolik, jadi demikian pula harapan tentang urutan pengajaran.
d.      Bila siswa memecahkan masalah di laboratonium atau secara teoretis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya rnemberikan saran-saran bilamana diperlukan.
Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat. Umpan balik sebagai perbaikan hendaknya diberikan dengan cara demikian rupa, hingga siswa tidak tetap tergantung pada pertolongan guru. Akhirnya siswa harus melakukan sendiri fungsi tutor itu.
e.       Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Seperti kita ketahui, tujuan-tujuan tidak dapat dirumuskan secara mendetail, dan tujuan-tujuan itu tidak diminta sama untuk berbagai siswa. Lagi pula tujuan dan proses tidak selalu seiring. Secara garis besar, tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu.
Di lapangan, pènilaian basil belajar penemuan meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar mengenai suatu bidang studi, dan kemampuan siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi baru. Untuk maksud ini bentuk tes dapat berupa tes objektif atau tes essai.
4.      Contoh Instruksional Belajar Dengan Metode Penemuan
Berikut ini akan diberikan contoh instruksional belajar dengan metode penemuan yang dikemukakan oieh Bruner yang bekerja sama dengan Dienes (dalam MKPBM crew, 2001;3.18). Suatu kelas yang terdiri dari siswa-siswa berusia 8 tahun diperkenalkan pada 3 jenis papan kedua atau plat. Papan pertama kita katakan    persegi X, papan berbentuk persegi panjang dengan sisi-sisinya x dan 1 kita sebut “1x” atau “x” saja dan papan yang ketiga merupakan persegi kecil yang sisi-sisinya 1 dengan 1 disebut “l”
Pertama siswa diminta bermain-main dengan benda tersebut. Papan pertama, papan kedua, dan papan ketiga masing-masing jumlahnya banyak. Setelah itu Bruner bertanya pada siswa “dapatkah kalian membuat persegi yang ukurannya lebih besar dari persegi x dengan merangkai papan-papan jenis pertama, kedua dan ketiga?” Sebagian besar siswa dapat menyusun persegi seperti digambarkan berikut ini.
Kemudian Bruner meminta mereka menjelaskan apa yang baru saja diperolehnya. Mereka menjawab, “kami memiliki sebuah persegi x dengan dua buah x dan sebuah 1”. Setelah itu Bruner memperkenalkan simbol x untuk melambangkan persegi x dan simbol “+” untuk “dan”. Dengan memakai simbol-simbol tersebut, persegi tersebut dapat dinyatakan dengan ­­ + 2x + I. Cara lain untuk menyatakan persegi di atas adalah sebagai berikut, dengan x dan 1 pada setiap sisinya, sisi tersebut dilambangkan sebagai x + 1 dan persegi yang diperoleh àdalah (x + 1) (x+ 1). Dari dua cara untuk menggambarkan persegi yang sama tersebut di atas diperoleh persamaan berikut:
Para siswa selanjutnya membuat persegi-persegi dengan menurunkan notasi-notasi yang baru ditulis di atas sebagai berikut.
Bruner menduga bahwa mereka akan menemukan perbedaan dalam contoh-contoh persegi (1), persegi (2), persegi (3), dan persegi (4). Banyaknya x pada masing-masing persegi tersebut berturut-turut 2, 4, 6, dan 8. Sedangkan bannyaknya persegi 1 pada masing-masing persegi (I), (2), (3), dan (4) berturut-turut 1, 4, 9, dan 16. Bruner yakin setiap kali siswa mengalami kesulitan, mereka akan kembali pada contoh-contoh sebelumnya dan mencoba untuk rnenyelesaikannya.
Dari contoh instruksional belajar dengan metode penemuan di atas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
1.      Menemukan sendiri beberapa persegi dengan ukuran   yang berbeda-beda dan menamai persegi yang diperoleh  berdasarkan  ukuran yang diperoleh dari ukuran 3 jenis papan sebagai benda konkret yang dimanipulasi oleh siswa.
2.      Konsep-konsep yang terkait dengan hal yang ditemukan siswa pada contoh di atas adalah penjumlahan, perkalian, bangun datar dan persegi  panjang.
3.      Melalui benda konkret yang diberikan ke siswa, konsep yang ditemukan siswa adalah berbagai macam persegi yang lain dari contoh diberikan oleh guru dan menamai persegi yang diberikan itu.
»»  read more